Senin, 30 Mei 2011

RoadShow Literasi Media Tim PKMM Media Literasi

Hasil Uji coba game edukasi yang telah kami berikan kepada 2 sekolah binaan tim PKMM Media Literasi Psikologi Undip, terdapat pengaruh penggunaan game edukasi (ular tangga, Puzzle TVQ, Sosiodrama) terhadap pemahaman, sikap dan perilaku anak terhadap media. Hasil pre-post test yang mengungkap seberapa anak melek media menunjukan kemajuan yang sangat besar, dari pre test terdapat 36% anak yang melek media meningkat menjadi 58% anak makin melek media pada post-test. Untuk melihat kemajuan perkembangan anak di rumah, maka kami berikan kesempatan orang tua untuk memonitoring anaknya dengan menggunakan check-list. Berikut hasil monitoring orang tua/wali siswa:

a. Anak mampu menyebutkan dan menjelaskan tentang jenis-jenis media. Menurut hasil monitoring yang telah dilakukan orangtua siswa, rata-rata siswa mampu menyebutkan 5 s/d 10 jenis media. 

b. Anak dapat menggolongkan jenis media yang baik dan buruk dengan persentasi 81% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan. 

c. Anak dapat memilih media yang baik dengan persentasi 96% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan. 

d. Anak mampu menjelaskan aktifitas lain yang lebih bermanfaat daripada mengonsumsi media dengan persentasi 72% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan. 

e. Anak dapat mengutarakan pendapat untuk memilih aktifitas selain mengonsumsi media dengan persentasi 81% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan. 

f. Anak mampu menjelaskan alasan memilih aktifitas yang lebih bermanfaat daripada mengonsumsi media secara berlebihan dengan persentasi 64% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan. 

g. Anak dapat menunjukan perilaku yang lebih bermanfaat selain mengonsumsi media dengan persentasi 90% dari jumlah siswa di SD binaan yang telah diberikan perlakuan.

Hasil yang membanggakan ini membuat tim PKMM media literasi ingin melakukan pengabdian yang lebih luas dalam bentuk roadshow yang bekerjasama dengan sekolah. Oleh karena itu, kami bersedia bila ada sekolah yang berminat dengan roadshow yang kami tawarkan. Keterangan lebih lanjut silahkan hubungi kami melalui email: melekmedia.gmm@gmail.com, atau CP: faiz: 085727114300, yekti: 085642297749. terimakasih...

Senin, 23 Mei 2011

KAOS GMM


PROMO KAOS PEDULI ANAK BANGSA!!
Sebagai dukungan terhadap terbentuknya generasi media yang media literet, atau tim kami biasa menyebutnya 
dengan generasi melek media maka kami sediakan kaos untuk mengkampanyekan gerakan melek media. Bisa dipesan dengan berbagai warna dan ukuran dengan bahan berkualitas. Cukup dengan membayar uang ganti cetak dan kirim Rp. 70.000,-. Don't Miss It!!

Hasil FGD Orangtua Siswa SD

Kira-kira selama satu bulan yang lalu, kami melakukan need asesmen kepada orangtua siswa di SD yang telah menjadi binaan tim kami. asesmen ini kami lakukan dengan cara FGD perwakilan orang tua yang kami ambil secara acak. poin-poin penting yang bisa kambil dari hasil diskusi tersebut antara lain:

  • Media diyakini sebagai alat untuk mencapai kebutuhan dalam hal hiburan dan pengetahuan 
  • Pada umumnya orang tua tidak memahami esensi media, termasuk definisi media, fungsi, serta dampaknya pada kehidupan anak sehari-hari. 
  • Jenis media yang paling dekat dengan keseharian anak menurut orangtua adalah tv, game computer, dan play station. 
  • Konten media yang dikonsumsi sepemahaman orangtua cukup beragam, mulai dari acara anak-anak (Si Bolang, Ipin-Upin, Krishna, dan jenis kartun lainnya), acara sepak bola, hingga sinetron. 
  • Frekuensi pengonsumsian media berkisar 3 jam pada hari sekolah, sedangkan pada hari libur anak mengonsumsi media selama satu hari nonstop. Ada pula orangtua yang menyatakan anak mengonsumsi media sesuka hatinya. 
  • Orangtua tidak membuat peraturan pengonsumsian media secara tegas, namun hanya sebatas mengawasi. ‘Mengawasi’ hanya berlaku bila orangtua ada di Rumah bersama anak, namun perilaku anak menjadi lebih bebas bila tidak ada orangtua karena tidak terdapat peraturan yang mengikat.

TV yang Lebih Bersahabat

Sadarkah Anda, bahwa TV dapat menjadi salah satu sahabat anak Anda? Ia menatapnya setiap hari, kadangkala bila Anda tidak membatasinya, maka ia bisa saja berjam-jam menatap kotak berpandar itu tanpa geming.


Itu sebabnya, dalam Undang-undang penyiaran, anak-anak dimasukkan dalam khalayak khusus, karena mereka adalah penonton yang pasif dan tidak kritis. Berdasar pada itu, setiap program anak seharusnya dibuat dengan sangat serius. 


TV Si Dewa Janus
Setelah era NarutoOne Piece, dan Crayon Sinchan, akhirnya deretan program ”AMAN” kembali mendominasi wajah program anak di televisi nasional kita. Coba tengok Bonar Sang Pendongeng, Laptop Si Unyil, Jalan Sesama, dan My Friends Tigger and Pooh. Semua tayangan tersebut mengembalikan wajah bersahabat televisi, dan memberikan alternatif tayangan TV yang “sehat” tidak hanya menghibur, namun juga memberikan informasi, bernilai edukasi, dan memberi nilai lebih bagi anak.

Ya, TV memang laksana Dewa Janus yang memiliki dua wajah, wajah baik dan wajah buruk. 

Sekalipun beberapa acara berlabel BAHAYA masih berseliweran di TV kita, namun setidaknya sekarang anak-anak memiliki cukup banyak pilihan yang lebih baik. 


Rindu pada Barney dan Telletubbies
Beberapa tayangan yang disebutkan di atas adalah salah satu bentuk penyegaran terhadap kerinduan kita pada tayangan indah bernilai edukasi seperti Barney and Friends serta serial Telletubbies.

Masih lekat dalam ingatan kita kepada Barney dan teman-temannya yang mengajarkan banyak hal kepada anak-anak melalui kegiatan positif seperti bernyanyi, menari, hingga nilai-nilai dan sikap positif mengenai persahabatan, keberanian, keberagaman, dan lain-lain. aat ini, putera-puteri kita disuguhi petualangan empat bocah cilik dalam Little Einsteins yang tidak hanya pemberani, namun juga sangat dekat dengan nilai budaya dan seni.

Selain itu, lihat saja kisah beruang paling terkenal di dunia, Winnie The Pooh dalam My Friends Tigger & Pooh, kisah heroik Tsubasa di lapangan hijau dalam Captain Tsubasa, dan rangkaian tayangan lokal yang tak kalah mendidik seperti Jalan Sesama, Bocah Petualang, Dunia Binatang, dan lain-lain. 


TV yang Mendidik
Bisakah kita mengharapkan TV mampu mengemban tugas pentingnya dalam memberikan informasi, mendidik, sekaligus menghibur? Asalkan setiap program yang ditampilkan disiapkan atau dipilih dengan hati-hati, serius, melibatkan ahli, dan dibuat dalam sudut pandang kepentingan anak... kenapa tidak?!

Coba saja Anda tengok beberapa acara anak produk import semacam Dora The Explorer,Little Einsteins, dan Booggie Beebies. Ketiga tayangan tersebut tidak hanya membuat anak-anak terpaku memandang TV dengan rangkaian kisah dan deretan lagu, tetapi juga mengajak anak-anak berinteraksi. Dora kerap bertanya kepada anak-anak, “dapatkah kamu membantu menemukan peta?” Leo dalam Little Einsteins selalu bertanya, “maukah kau membantu kami. Tepuk pahamu lebih keras agar Rocket bisa terbang.” Belajar berhitung? Ayo simak Mickey Mouse Clubhouse, di sana Mickey kerap mengajak anak-anak menghitung dan belajar penjumlahan sederhana. 

Butuh pendidikan yang lebih serius? Program lokal Indonesia sudah cukup menguasai ranah ini. Ingin tahu kehidupan ikan dan hewan-hewan air, Dunia Air di Trans7 menawarkan semi-dokumenter yang menawan. Selain itu, ada juga Dunia Hewan yang konsepnya kurang lebih sama. Ingin tahu beragam bahan makanan dan cara pengolahannya? Koki Cilik bisa jadi salah satu alternatif tontonan. Bahkan belajar sesuatu yang serius pun bisa sangat menyenangkan di acara-acara tersebut. 


Lebih Banyak Acara yang Aman
Pengamatan Kidia terhadap program anak yang tayang di televisi nasional menunjukkan perbaikan yang membanggakan. Dari 56 program anak yang tayang pada bulan November 2009, 41 % di antaranya masuk dalam kategori Aman, 36% Hati-hati, dan hanya sekitar 23% yang masuk dalam kategori Bahaya. Pada bulan November, persentase tayangan yang masuk dalam kategori Bahaya semakin sedikit, hanya 13 % saja (total 64 acara).

Kami terus berharap bahwa kesadaran stasiun TV nasional untuk menghadirkan acara TV yang bermutu semakin meningkat. Bahkan program anak buatan dalam negeri dengan tema yang sehat dan mendidik juga semakin beragam dan membaik kualitasnya. Beberapa judul sudah berulangkali kami sebut di depan, dan daftarnya semakin bertambah dari hari ke hari dengan program-program baru semacam Samba dan Sahabat(Trans7), Teropong si Bolang (Trans7), dan I Got It! yang baru akan segera tayang di TVRI. 

I Got It! sendiri adalah program edutainment hasil kerjasama tujuh negara ASEAN yang menampilkan kebudayaan dari ketujuh negara tersebut, sehingga anak-anak tidak hanya mengenal budaya negaranya sendiri, namun juga kebudayaan asing, serta menghargainya. Acara ini dipersiapkan dengan sangat matang dengan memperhatikan aspek-aspek kepentingan anak dan kemudahan bagi anak-anak untuk memahami pesan di dalamnya. 

Coba juga perhatikan acara-acara produksi TVE (Televisi Edukasi) yang kerap tampil di TVRI dan SpaceToon, seperti Kampung Edu, Sahabat Pantai, dan Teropong Sains. Semua tayangan tersebut mengutamakan nilai-nilai pendidikan, tanpa meninggalkan aspek menghiburnya. 
 

Menonton TV dengan Proporsional
Ya, program TV memang mulai bersahabat. Namun terus menerus menonton TV tetap saja bukan solusi bagi perkembangan anak yang baik. Anak-anak membutuhkan lebih banyak stimulus yang tidak akan bisa dipenuhi hanya dengan menyediakan 24 jam acara anak yang sehat. 

Sama halnya dengan tubuh kita yang membutuhkan makanan, setiap jenis makanan dan kandungannya (yang baik tentu saja) dapat kita konsumsi setiap saat..., namun dengan proporsional. Bila terlalu berlebihan tentu saja tidak baik. Demikian pula dengan menonton TV. 

Seaman dan sebaik apapun program TV yang kita tonton, apabila menonton TV terlalu sering jelas juga tidak baik. Tidak hanya mengurangi jam belajar dan bermain, berbagai dampak menonton TV terlalu lama juga mengancam. Pada anak-anak yang lebih kecil, sekalipun menonton tayangan yang aman, namun apabila dilakukan terlalu sering akan mengganggu daya konsentrasi dan kemampuan bicara, serta tentu saja mengurangi waktu untuk melakukan aktivitas fisik yang sangat baik bagi perkembangan motorik anak. 

Dua jam adalah waktu yang sangat proporsional untuk menonton TV atau melakukan kegiatan bermedia lainnya seperti main video game dan membca komik, selebihnya masih banyak hal yang bisa dilakukan anak-anak untuk mengisi harinya, seperti belajar, menari, bermain dengan kelinci di halaman, main petak umpet dengan teman-temannya, sekedar bersenda gurau dengan Anda, atau beristirahat.


Harapan
Akhirnya, Kidia terus berharap bahwa pola layanan televisi nasional kita akan sebaik ini atau bahkan lebih baik lagi. Menyediakan siaran yang positif, mendidik, memberi nilai lebih, bukan sekedar menghibur, memang bukan pekerjaan mudah. Namun lambat laun, pasti bisa dilakukan. 

Semoga situasi ini tetap bertahan, atau malah lebih baik... bukan hanya berlangsung saat ini saja.


Perkembangan Literasi Media di Indonesia

Salah satu definisi yang popular menyatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan isi pesan media. Dari definisi itu dipahami bahwa fokus utamanya berkaitan dengan isi pesan media.  

Di Indonesia, kegiatan literasi media lebih didorong oleh kekhawatiran bahwa media dapat menimbulkan pengaruh negatif. Mereka yang prihatin dengan pola interaksi anak dengan media dan prihatin dengan isi media yang tidak aman dan tidak sehat biasanya berasal dari kalangan orangtua, guru, tokoh agama, LSM yang peduli dengan perlindungan anak, perguruan tinggi, kelompok mahasiswa, dan sebagainya. Mereka berusaha keras menemukan cara-cara yang bisa diterapkan dalam mengurangi jam anak menonton TV, memilih tayangan, melakukan pendampingan yang benar, dan melakukan sosialisasi melalui berbagai forum. 


Periode 1990 – 2000: Periode Mencari Bentuk
Untuk menyederhanakan, perkembangan literasi media di Indonesia dapat dibagi dalam dua periode, yakni periode 1990-2000 dan periode 2000-2010. 

Tahun 1991, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyelenggarakan sebuah workshop tingkat Asia-Pasific, tentang anak dan televisi di Cipanas. Dalam salah satu pasal deklarasinya, dinyatakan bahwa “Untuk maksud baik ataupun buruk, televisi ada di sekeliling jutaan anak. Mereka menonton apa saja yang ada di televisi, dan televisi akan terus menerus menimbulkan pengaruh dalam kehidupan anak di Asia baik fisik, mental, emosi, dan perkembangan spiritualnya.”

Deklarasi itu juga  mengakui peran penting yang seharusnya dimainkan oleh televisi dalam membantu tumbuh kembang anak yang baik, dan perlunya dikembangkan media literacy di kalangan anak-anak. 

Berbagai forum seminar lainnya, lebih menekankan pada dampak televisi pada anak dan bagaimana orangtua harus bersikap. Seminar-seminar ini banyak diselenggarakan oleh berbagai institusi, sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain. Forum seminar tersebut biasanya diselenggarakan selama satu sesi atau setengah hari dengan tema-tema populer yang dibutuhkan oleh orangtua dan guru. Pembahasan dalam forum tersebut dapat dikatakan merupakan sepenggal dari kegiatan literasi media yang utuh. 


Periode 2000 – 2010: Periode Pematangan
Pada periode ini, masih banyak bentuk kegiatan literasi media seperti dalam periode sebelumnya. Namun ada variasi berupa kegiatan kampanye literasi media yang dilakukan oleh LSM maupun organisasi mahasiswa. Kegiatan tersebut dilakukan melalui seminar pendek dan road show dengan melibatkan anak-anak. Sayangnya, gerakan tersebut dilakukan secara insidental dan kurang memikirkan bagaimana agar materi yang dikampanyekan bisa berjalan terus. 

Selain itu, pada tahun 2002 untuk pertama kalinya dilakukan penerapan literasi media melalui jalur sekolah yang menjadi mata pelajaran tersendiri. Ujicoba ini dilaksanakan di SDN Percontohan Johar Baru 01 Pagi Jakarta Pusat oleh YKAI.

Selanjutnya, Yayasan Pengembangan Media Anak sejak 2006 hingga 2010 secara serius melakukan ujicoba dan pengembangan literasi media dengan dukungan UNICEF. Dalam ujicoba tahun 2008, dilakukan evaluasi program melalui pre and post-test yang dilakukan oleh Tim Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Diponegoro. 


Perkembangan Yang Lambat
Tidak adanya forum ilmiah yang membahas masalah literasi media, barangkali menjadi penyebab mengapa pemahaman terhadap konsep menjadi sangat beragam, dan hal itu kemudian tercermin dalam program/kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga.

Hal lain yang cukup menarik adalah absennya perguruan tinggi dalam mengembangkan isu ini. Program studi Ilmu Komunikasi tentunya memiliki relevansi yang tinggi untuk masalah literasi media ini. Akibatnya, perkembangan literasi media di Indonesia terasa sangat lambat baik dalam pemahaman konsep, ragam kegiatan, maupun cakupannya. Sementara itu, akses anak-anak terhadap media menjadi semakin tinggi dan isi media tetap tidak aman dan tidak sehat.

Sudah saatnya berbagai instansi pemerintah melakukan langkah nyata bagi perlindungan anak dari dampak media, mengoptimalkan media sebagai salah satu sumber belajar, dan berupaya mengurangi jumlah waktu yang digunakan untuk mengkonsumsi media dengan menggantinya dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. 
(B. Guntarto)


Sumber: http://www.kidia.org

Dampak Media Pada Anak

Ahli perkembangan anak dari Amerika Serikat T. Berry Brazelton, M.D., mewanti-wanti bahwa media sungguh-sungguh merupakan kompetitor terbesar bagi para orangtua. Studi dari University of Maryland mendapatkan bahwa waktu berinteraksi anak-anak Amerika dengan orangtua mereka telah turun hingga 40% atau menjadi sekitar 17 jam seminggu dibanding dengan mereka yang lahir di tahun 1965an. Di sisi lain, waktu yang mereka gunakan untuk berinteraksi dengan media meningkat lebih dari dua kali (Steyer, 2002).

Gejala berkurangnya waktu berinteraksi antara orangtua dan anak (usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar) dan meningkatnya kuantitas serta kualitas interaksi anak dengan media disadari atau tidak, diakui atau tidak juga terjadi di masyarakat kita. Tingginya waktu yang mereka gunakan untuk mengakses media sudah pasti akan mengurangi kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya, untuk bermain secara bebas dan alamiah, untuk kemampuan bersosialisasi, kemampuan empati, memahami peran dan tanggungjawab, dan sebagainya.

Berkurangnya waktu secara signifikan untuk melakukan hal-hal tersebut di atas pada anak usia pra sekolah hingga usia sekolah dasar, bisa mengurangi dan bahkan menghilangkan masa kanak-kanak mereka. Selain soal kesempatan bermain bebas yang menjadi berkurang dan bahkan hilang, maka masuknya materi-materi orang dewasa melalui media juga membuat dunia mereka tidak lagi murni dunia anak-anak. Bisa jadi perbincangan dan cerita-cerita mereka menjadi terkontaminasi oleh kasus-kasus artis dalam infotainmen, lagu-lagu yang mereka nyanyikan penuh dengan kata-kata cinta, dandanan bak artis dalam ‘Idola Cilik', dunia glamor dan gemerlap, budaya instan yang sering tergambar dalam sinetron, dan sebagainya.

Dalam bentuk lain, televisi juga telah menimbulkan dampak peniruan yang berakibat fatal. Beberapa kasus meniru adegan dalam televisi yang dilakukan oleh anak-anak di Indonesia dapat disebutkan misalnya peniruan adegan dalam acara Smack Down yang menewaskan setidaknya 3 anak usia sekolah dasar dan mencederai puluhan anak di berbagai wilayah di Indonesia. Kemudian kasus anak usia 10 tahun yang terjerat tali kepala Naruto di Semarang hingga meninggal. Terakhir, bulan Juli 2008 di Pontianak seorang anak usia 9 tahun meninggal karena terjerat tali ayunan karena bermain ‘mati-matian' yang menurut adiknya dia tiru dari tayangan televisi.

Teori tentang dampak media yang secara gamblang dapat menggambarkan dampak media pada anak di antaranya adalah ((Baran, 2006))

Teori Kultivasi
Teori ini dikembangkan oleh George Gerbner. Teori kultivasi menyatakan bahwa televisi memiliki pengaruh jangka panjang yang tidak terlalu besar, gradual, tidak langsung, kumulatif, dan signifikan. Dampak tersebut lebih terlihat dalam sikap dibanding perilaku. Mereka yang banyak menonton TV cenderung memiliki pandangan yang sama dengan apa yang ditampilkan oleh televisi.

Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, orang belajar sesuatu dari orang lain, dari pengamatan, peniruan, dan keteladanan. Dari situ, seseorang membentuk pemikiran mengenai bagaimana sebuah tindakan dilakukan. Dalam kesempatan selanjutnya, hal ini bisa menjadi pegangan dalam berperilaku. Teori ini menjelaskan perilaku manusia dalam interaksi timbal baliknya antara pengetahuan, perilaku, dan pengaruh lingkungan.

Sumber: kidia, http://www.kidia.org

Hasil FGD Guru SD

Dua bulan yang lalu tim media literasi psikologi undip melakukan need asesmen ke beberapa SD disekitaran kampus undip. Salah satu metode asesmen yang kami gunakan adalah FGD dengan perwakilan guru-guru SD dari masing-masing sekolah. Berdasarkan hasil diskusi bersama guru SD, pada umumnya media dipahami sebagai alat untuk membantu pembelajaran. Media merupakan benda tidak bergerak yang bisa menimbulkan efek positif maupun negatif, tergantung dari pemakaian seorang. Guru mengakui bahwa media bukan lagi barang mewah. Kini media telah erat dalam kehidupan anak, bahkan melekat di keseharian mereka. terdapat media cetak dan media elektronik, para guru mengatakan media elektronik jauh lebih erat di kehidupan anak. hal Berikut adalah media yang menurut guru SD paling sering dikonsumsi anak: 
  1. TV 
  2. Game online 
  3. Playstation 
  4. Internet 
  5. Handphone 
  6. Komputer/Laptop 
  7. Game tendo 
Anak biasa mengonsumsi media sepulang sekolah, umumnya mereka menonton tv sampai malam. Hal ini biasa dilakukan pada hari sekolah. Menurut penuturan dari beberapa guru anak akan lebih leluasa menggunakan media pada hari libur, khususnya untuk menonton TV dan main game satu hari non-stop. Para guru cenderung tidak mengetahui aktivitas anak di luar sekolah dan rumah. Guru yakin anak telah mengonsumsi internet, playstation, dan game online, namun guru sendiri tidak mengetahui konten yang dikonsumsi anak. Di sisi lain, penggunaan handphone hanya sebatas pada anak dalam kategori menengah ke atas. Di SD Pedalangan 2, terdapat peraturan yang melarang anak membawa handphone. Namun demikian, beberapa anak sering melanggar peraturan. Pernah terjadi kasus penyalahgunaan handphone di kelas 5 untuk tindak asusila, yakni melihat tayangan pornografi. Hal ini sangat disayangkan terjadi pada siswa SD yang notabene sebagai generasi bangsa yang seharusnya mengenyam pendidikan dengan akhlak berkualitas. 

Sumber informasi penggunaan media pada anak sebagian besar dari teman, selain itu dari informasi yang berkembang di masyarakat, serta proses belajar otodidak. Hanya sedikit anak yang mengetahui media dari saudara, bahkan tidak ada guru yang mengatakan sumber informasi yang berasal dari orang tua atau keluarga. 

Para guru cenderung kurang mengawasi aktivitas anak dalam mengonsumsi media. Mereka cenderung membatasi peran di lingkungan sekolah saja. Pendidikan media pun belum disampaikan dengan baik, baru sebatas nasihat atau perkataan biasa. Materi tentang media yang tercakup dalam sub materi globalisasi sudah diberikan di kelas 4, 5, dan 6, sehingga pendidikan media menjadi satu dalam materi tersebut. Sebagian besar guru SD belum mengetahui konsep literasi media, sehingga penyampaian pendidikan media pada anak pun hanya dilaksanakan apa adanya. Mereka menghendaki adanya kerjasama berbagai pihak, yaitu sekolah, keluarga, dan pemerintah. Guru juga menekankan pentingnya pendidikan moral dan agama untuk membentengi anak dari gencaran media yang tidak bertanggun jawab.

(Reporter: Rini N, Tim Media literasi Psiko Undip)